Disadur oleh Abu Isma’il Muslim al-Atsari dari kitab Tashiil al-‘Aqidah al-Islaamiyyah, hal. 1-4, penerbit: Darul ‘Ushaimi lin nasyr wa tauzi’, karya Prof. Dr. Abdullah bin Abdul ‘Aziz bin Hammaadah al-Jibrin

Sesungguhnya ilmu tentang aqidah merupakan ilmu yang sangat mulia, karena ilmu aqidah membahas tentang dzat Allah Ta’ala, sifat-sifatNya, hakNya untuk diibadahi, dan yang berkaitan dengannya. Al-Bazdawi rohimahulloh berkata:

” لِأَنَّ شَرَفَ الْعِلْمِ وَعَظَمَتَهُ بِحَسَبِ الْمَعْلُوْمِ، 

وَلَا مَعْلُوْمَ أَكْبَرُ مِنْ ذَاتِ اللهِ تَعَالَى وَصِفَاتِهِ، اَلَّذِي يَبْحَثُ فِيْهِ هَذَا الْعِلْمِ “.

“Sesungguhnya kemuliaan dan keagungan ilmu tergantung apa yang diilmui.

Dan tidak ada yang lebih besar daripada dzat Allah Ta’ala dan sifat-sifatNya yang dibahas oleh ilmu (aqidah) ini”.  (Kasyful Asraar 1/8)

MAKNA AQIDAH:

Aqidah di dalam bahasa Arab diambil dari kata al-‘aqd, artinya: kuat; ikatan; kokoh; mengokohkan. (Lihat: Lasaanul ‘Arab, bab ‘aqada) 

Sedangkan secara istilah, aqidah artinya: Keimanan yang kuat kepada Allah, dan hakNya yang berupa tauhid, keimanan kepada malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para nabi-Nya, hari akhir, serta beriman kepada takdir yang baik dan yang buruk. Dan perkara lainnya yang bercabang dari pokok-pokok ini dan termasuk padanya yang termasuk ushuludin (pokok-pokok agama). (Lihat Risalah al-‘Aqidah ash-Shahihah, karya Syaikh Abdul ‘Aziz bi Baaz, hal. 3-4; dan risalah Mujmal Ushul Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal.5) 

NAMA-NAMA LAIN DARI ILMU AQIDAH

SUNNAH

Banyak ulama Salaf menyebut aqidah shahihah (yang benar) dengan nama ‘sunnah’, hal itu untuk membedakan dari keyakinan-keyakinan dan pendapat-pendapat firqoh-firqoh (golongan-golongan) yang sesat. Karena aqidah shahihah (yang benar), yaitu aqidah Ahlus Sunnah wal-Jama’ah, diambil dari Sunnah Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, sedangkan Sunnah merupakan penjelas Al-Qur’an.

Sebagian ulama Salaf telah menulis kitab-kitab aqidah dan mereka menamakannya dengan ‘as-sunnah’, di antaranya kitab as-Sunnah karya imam Ahmad bin Hanbal, kitab as-Sunnah karya imam Ibnu Abi ‘Ashim, dan lainnya. 

USHULUDDIN

Sebagaimana sebagian ulama menamakan aqidah dengan ushuludin (pokok-pokok agama). Hal itu karena agama Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam terbagi menjadi  i’tiqaadaat (keyakinan-keyakinan) dan ‘amaliyyaat (amalan-amalan). 

Yang dimaksudkan dengan ‘amaliyyaat adalah ilmu tentang syari’at-syari’at dan hukum-hukum yang berkaitan dengan cara amalan. Seperti hukum-hukum sholat, zakat, jual-beli, dan lainnya.  

‘Amaliyyaat juga dinamakan far’iyyah atau furu’ (cabang). 

‘Amaliyyaat adalah semacam cabang untuk ilmu aqidah. 

Karena aqidah adalah ketaatan yang paling mulia, dan karena kebenaran aqidah merupakan syarat diterimanya ibadah-ibadah amalan. Jika aqidah rusak, ibadah tidak diterima dan pahalanya batal. Sebagaimana firman Allah Ta’ala: 

وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu, “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. (QS. Az-Zumar/39: 65)

Imam Ibnu Abil ‘Izzi rohimahulloh (wafat th. 792 H) telah berkata di dalam mukaddimah syarah Thahawiyah:

(أَمَّا بَعْدُ) فَإِنَّهُ لَمَّا كَانَ عِلْمُ أُصُولِ الدِّينِ أَشْرَفَ الْعُلُومِ، إِذْ شَرَفُ الْعِلْمِ بِشَرَفِ الْمَعْلُومِ. 

وَهُوَ الْفِقْهُ الْأَكْبَرُ بِالنِّسْبَةِ إِلَى فِقْهِ الْفُرُوعِ، 

وَلِهَذَا سَمَّى الْإِمَامُ أَبُو حَنِيفَةَ – رَحْمَةُ الله تعالى – مَا قَالَهُ وَجَمَعَهُ فِي أَوْرَاقٍ مِنْ أُصُولِ الدِّينِ “الْفِقْهَ الْأَكْبَرَ”

 وَحَاجَةُ الْعِبَادِ إِلَيْهِ فَوْقَ كُلِّ حَاجَةٍ، وَضَرُورَتُهُمْ إِلَيْهِ فَوْقَ كُلِّ ضَرُورَةٍ؛ لِأَنَّهُ لَا حَيَاةَ لِلْقُلُوبِ، 

وَلَا نَعِيمَ وَلَا طُمَأْنِينَةَ، إِلَّا بِأَنْ تَعْرِفَ رَبَّهَا وَمَعْبُودَهَا وَفَاطِرَهَا، بِأَسْمَائِهِ وَصِفَاتِهِ وَأَفْعَالِهِ، 

وَيَكُون مَعَ ذَلِكَ كُلِّهِ أَحَبَّ إِلَيْهَا مِمَّا سِوَاهُ، 

وَيَكُون سَعْيُهَا فِيمَا يُقَرِّبُهَا إِلَيْهِ دُونَ غَيْرِهِ مِنْ سَائِرِ خَلْقِهِ.
وَمِنَ الْمُحَالِ أَنْ تَسْتَقِلَّ الْعُقُولُ بِمَعْرِفَةِ ذَلِكَ وَإِدْرَاكِهِ عَلَى التَّفْصِيلِ، فَاقْتَضَتْ رَحْمَةُ الْعَزِيزِ الرَّحِيمِ أَنْ بَعَثَ الرُّسُلَ، 

بِهِ مُعَرِّفِينَ، وَإِلَيْهِ دَاعِينَ، وَلِمَنْ أَجَابَهُمْ مُبَشِّرِينَ، وَلِمَنْ خَالَفَهُمْ مُنْذِرِينَ، 

وَجَعَلَ مِفْتَاحَ دَعْوَتِهِمْ، وَزُبْدَةَ رِسَالَتِهِمْ، مَعْرِفَةَ الْمَعْبُودِ سُبْحَانَهُ بِأَسْمَائِهِ وَصِفَاتِهِ وَأَفْعَالِهِ، 

إِذْ عَلَى هَذِهِ الْمَعْرِفَةِ تُبْنَى مَطَالِبُ الرِّسَالَةِ كُلِّهَا مِنْ أَوَّلِهَا إِلَى آخِرِهَا.

ثُمَّ يَتْبَعُ ذَلِكَ أَصْلَانِ عَظِيمَانِ:

أَحَدُهُمَا: تَعْرِيفُ الطَّرِيقِ الْمُوْصِلِ إِلَيْهِ، وَهِيَ شَرِيعَتُهُ الْمُتَضَمِّنَةُ لِأَمْرِهِ وَنَهْيِهِ.

وَالثَّانِي: تَعْرِيفُ السَّالِكِينَ مَا لَهُمْ بَعْدَ الْوُصُولِ إِلَيْهِ مِنَ النَّعِيمِ الْمُقِيمِ.

Amma ba’du: Sesungguhnya ilmu ushuludin merupakan ilmu yang paling mulia, karena kemuliaan ilmu dengan sebab kemuliaan yang diilmui. 

Ilmu aqidah adalah fiqih akbar dibandingkan dengan fiqih furu’. 

Oleh karena itu Imam Abu Hanifah menamakan ushuludin yang telah beliau katakan dan kumpulkan di dalam kertas-kertas dengan fiqih akbar. 

Keperluan hamba terhadap ilmu aqidah di atas seluruh keperluan, kebutuhan primer hamba terhadapnya di atas seluruh kebutuhan primer. 

Karena sesungguhnya tidak ada kehidupan bagi hati, tidak ada kenikmatan, tidak ada ketentraman, kecuali hati itu mengenal Rabbnya, sesembahannya, dan Penciptanya. Mengenal dengan nama-namaNya, sifat-sifatNya, dan perbuatan-perbuatanNya. 

Bersamaan dengan itu semua, Allah paling dia cintai dari selainNya, dan usaha hati untuk mendekatkan diri kepadaNya bukan kepada selainNya dari seluruh makhlukNya. 

Akal sendiri mustahil mengetahui dan memahami hal itu secara rinci, sehingga rahmat Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Pengasih menetapkan mengutus rasul untuk mengenalkanNya, mengajak kepadaNya, memberikan kabar gembira kepada orang-orang yang menyambut (dakwah) mereka, dan memberikan peringatan kepada orang-orang yang menyelisihi mereka. Allah menetapkan pembuka dakwah para rasul dan inti risalah mereka dengan ma’rifah (mengenal) kepada Allah Ta’ala, mengenal nama-namaNya, sifat-sifatNya, dan perbuatan-perbuatanNya. 

Karena semua permasalahan risalah dari awal sampai akhir dibangun di atas ma’rifah ini. Kemudian setelah itu diikuti dua prinsip yang besar:

Pertama: Informasi jalan yang akan menghantarkan  kepadaNya. Yaitu syari’atNya yang memuat perintah dan laranganNya.

Kedua: Informasi kepada orang-orang yang berjalan menuju kepadaNya, tentang kenikmatan kekal bagi mereka setelah sampai kepadaNya”. (Syarah ath-Thahawiyah, penerbit: Al-Auqaaf as-Su’udiyyah, hal. 17)

Karena mayoritas masalah-masalah aqidah termasuk ushul (pokok-pokok), dan karena mayoritas masalah-masalah amaliyyah termasuk furu’ (cabang-cabang), maka aqidah disebut dengan ushuludin, sedang hukum-hukum amaliyah disebut furu’. Oleh karena itu sebagian ulama menamakan karya-karya tulis mereka dalam masalah aqidah dengan ushuludin, seperti: 

Al-Ibaanah ‘an Ushuulid Diyaanah, karya Abul Hasan al-Asy’ari; 

Masaail min Ushuulid Diyaanaat karya Abu Ya’la; 

Sullamul Wushul ila Ilmil Ushul, karya Al-Hakami, dan lainnya.

Walaupun sebagian ulama mengkritik pengunaan istilah ushuludin hanya untuk masalah aqidah, syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahulloh (wafat th. 728 H) berkata:

بَلْ الْحَقُّ أَنَّ الْجَلِيلَ مَنْ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْ الصِّنْفَيْنِ ” مَسَائِلُ أُصُولٍ ” 

وَالدَّقِيقَ ” مَسَائِلُ فُرُوعٍ “. 

“Bahkan yang benar bahwa perkara besar dari setiap keduanya adalah masalah-masalah ushul, 

sedangkan perkara yang daqiq (samar/kecil) adalah perkara-perkara furu’”. (Lihat: Majmu’ Fatawa, 6/56; juga lihat 3/364, 367 dan 19/134)

FIQIH AKBAR

Sebagian ulama juga menamakan ilmu aqidah dengan fiqih akbar, karena aqidah adalah pokok agama, sedang fiqih amalan yang dinamakan dengan fiqih ash-ghar adalah furu’nya. Imam Abu Hanifah telah menyusun masalah aqidah dan dia menamakannya dengan al-fiqhul akbar.

AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH

Mereka adalah para sahabat Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan sebaik-baiknya sampai hari kiamat. Mereka adalah orang-orang yang berpegang dengan aqidah shahihah yang bebas dari noda-noda bid’ah dan khurafat. Yaitu aqidah Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam dan disepakati oleh para sahabat beliau shollallohu ‘alaihi wa sallam. 

Mereka dinamakan Ahlus Sunnah karena amalan mereka mengikuti sunnah Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam yang merupakan penjelas Al-Qur’an, sebagai pengamalan sabda Nabishollallohu ‘alaihi wa sallam:

عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ 

تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ 

وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ 

Berpeganglah kepada Sunnahku dan Sunnah para khalifah yang mendapatkan petunjuk dan lurus. 

Peganglah dan giggitlah dengan gigi geraham. 

Jauhilah semua perkara baru (dalam agama), karena semua perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan semua bid’ah merupakan kesesatan.  

(HR. Ahmad, 4/126, 127; Abu Dawud no: 4607; Tirmidzi, no. 2676; Ibnu Majah, no. 4244; dan lainnya dari Al-‘Irbadh bin Sariyah) 

Mereka mengetahui bahwa petunjuk Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam adalah sebaik-baik petunjuk, sehingga mereka mengedepankannya daripada petunjuk manusia selainnya.

NAMA-NAMA LAIN DARI AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH

AL-JAMA’AH, AL-FIRQOH AN-NAJIYAH

Mereka dinamakan Al-Jama’ah karena mereka bersatu mengikuti sunnah Nabi dan ijma’ Salaf umat ini, sehingga mereka bersatu di atas kebenaran dan di atas aqidah Islam yang bebas dari noda-noda.

Demikian juga Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam telah menamakan dengan al-firqah an-najiyah (golongan yang selamat), golongan yang mengikuti sunnah Nabi dan jalan para sahabat, sehingga mereka selamat dari ancaman neraka. 

Nabi juga menamakan mereka dengan Al-Jama’ah. 

Telah shahih dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dia berkata: 

Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:

” إِنَّ أَهْلَ الْكِتَابَيْنِ افْتَرَقُوا فِي دِينِهِمْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً، 

وَإِنَّ هَذِهِ الْأُمَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً – يَعْنِي: الْأَهْوَاءَ -، 

كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلَّا وَاحِدَةً، وَهِيَ الْجَمَاعَةُ، 

وَإِنَّهُ سَيَخْرُجُ فِي أُمَّتِي أَقْوَامٌ تَجَارَى بِهِمْ تِلْكَ الْأَهْوَاءُ كَمَا يَتَجَارَى الْكَلْبُ بِصَاحِبِهِ، 

لَا يَبْقَى مِنْهُ عِرْقٌ وَلَا مَفْصِلٌ إِلَّا دَخَلَهُ “

“Sesungguhnya Dua Ahli Kitab (Yahudi dan Nashoro) telah berpecah-belah di dalam agama mereka menjadi 72 agama. 

Dan sesungguhnya umat (Islam) ini akan berpecah-belah menjadi 73 agama –yakni hawa nafsu-, semuanya di dalam neraka kecuali satu, yaitu al-Jama’ah. 

Dan sesungguhnya akan muncul di kalangan umatku, kaum-kaum yang (dikuasai oleh) hawa nafsu-hawa nafsu.

Hawa nafsu itu akan menjalar pada mereka sebagaimana penyakit rabies menjalar pada penderitanya, tidak tersisa satu urat dan satu sendi kecuali penyakit itu memasukinya”. 

(HR. Ahmad, 4/102; Abu Dawud, 4597; Ibnu Abi Ashim di dalam as-Sunnah, 1,2,65, dengan sanad yang hasan)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahulloh (wafat th. 728 H) berkata:

“Oleh karena itu golongan yang selamat disifati dengan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, adapun golongan-golongan yang lainnya adalah orang-orang yang nyleneh, berpecah-belah, berbuat bid’ah, dan mengikuti hawa nafsu. 

Semboyan golongan-golongan itu adalah menyelisihi Al-Kitab, As-Sunnah, dan al-Ijma’. 

Barangsiapa berkata berdasarkan  Al-Kitab, As-Sunnah, dan al-Ijma’ dia termasuk Ahlus Sunnah wal Jama’ah”. (Majmu’ Fatawa, 3/345-346)

Penamaan “Ahlus Sunnah wal Jama’ah” ini adalah sifat yang tepat, membedakan pemilik aqidah shahihah dan para pengikut Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam dari golongan-golongan sesat, yang berjalan tidak di atas petunjuk Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam.

Di antara golongan-golongan itu ada yang mengambil aqidahnya dari akal manusia dan ilmu kalam (filsafat) yang mereka warisi dari para failosof Yunani, lalu mereka lebih mengutamakannya daripada firman Allah dan sunnah Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam, sehingga mereka menolak nash-nash syari’at yang telah pasti, atau mereka mentakwilkannya (menyimpangkan artinya) karena semata-mata akal mereka yang dangkal tidak menerima kandungan nash-nash tersebut.

Di antara golongan-golongan tersebut adalah: para failosof, Qadariyah, Maturudiyah, Jahmiyah, Mu’tazilah, dan Asy’aryah, yang mereka bertaqlid kepada Jahmiyah pada sebagain pemikiran mereka.

Di antara golongan-golongan yang sesat ada yang mengambil aqidahnya dari pendapat-pendapat guru-guru dan imam-imam mereka, yang kebanyakannya berdasarkan hawa nafsu. Seperti: Shufiyah, Rafidhah, dan lainnya. Mereka mendahulukan perkataan guru-guru dan imam-imam daripada firman Allah dan sabda RasulNya.

Sebagaimana sebagian golongan-golongan yang sesat itu ada yang menisbatkan diri kepada pendirinya dan pembangun prinsip-prinsip aqidahnya. Seperti Jahmiyah, nisbat kepada Jahm bin Shafwan.

Dan seperti Asy’ariyah nisbat kepada Abul Hasan al-Asy’ari. 

Walaupun al-Asy’ari sudah meninggalkan aqidahnya menuju aqidah Ahlus Sunnah wal-Jama’ah, namun para pengikutnya terus mengikuti aqidahnya yang menyimpang yang telah ditinggalkannya. 

Juga seperti Al-Abadhiyh nisbat kepada Abdullah bin Abadh, dan lainnya.

Di antara golongan-golongan yang sesat itu ada yang menisbatkan diri kepada sebagian pemikiran-pemikirannya yang sesat, atau kepada sebagian perbuatan-perbuatannya yang buruk. 

Seperti Rafidhah nisbat kepada rafdhul imamah (menolak kepemimpinan) Abu Bakar dan Umar, dan berlepas diri dari keduanya. 

Qadariyah nisbat kepada penolakan qadar. 

Khawarij nisbat kepada khuruj (memberontak) kepada pemerintah. 

Dan selain mereka.

Maka Allah menyelamatkan Ahlus Sunnah dari menisbatkan diri dan mengikuti selain sunnah Nabi yang maksum dari kesalahan. 

Mereka tidak memiliki nama yang mereka menisbatkan diri kepadanya selain sunnah.

Seorang laki-laki bertanya kepada imam Malik, “Siapakah Ahlus Sunnah wahai Abu Abdullah?” 

Dia menjawab, “Orang-orang yang tidak memiliki gelar yang mereka dikenal dengannya. Bukan Jahmiyah, bukan Rafidhah, dan bukan Qadariyah”. (Riwayat Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Intiqa, hal. 35)

ASH-HABUL HADITS ATAU AHLUL HADITS

Sebagian ulama menyebut Ahlus Sunnah dengan Ash-habul Hadits atau Ahlul Hadits. Hal itu karena mereka memberikan perhatian hadits-hadits Nabi secara riwayah (periwayatan) dan dirayah (ilmu untuk mengetahui syarat-syarat riwayat, keadaan perawi-perawi dan syarat-syarat mereka, jenis-jenis periwayatan, dan yang berkaitan dengannnya), dan mereka mengikuti kandungan hadits, baik berupa aqidah maupun hukum. 

Hadits dan sunnah adalah dua lafzah yang maknanya berdekatan.

THOIFAH MANSHURAH

Ahlus Sunnah juga disebut Thoifah Manshurah (golongan yang ditolong) sampai hari kiamat. 

Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam menyebut mereka dengan sabdanya:

وَلَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي عَلَى الْحَقِّ مَنْصُورَةٌ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللَّهِ

Sekelompok dari umatku akan selalu di atas kebenaran, ditolong, sampai datang perintah Allah. (HR. Ibnu Hibban, no. 6714; Al-Baihaqi di dalam Sunan al-Kubra, no. 18617. Dishahihkan syaikh Al-Albani dan Syu’aib al-Arnauth)

Demikian sedikit penjelasan tentang makna aqidah dan istilah-istilah-nya, serta orang-orang yang mengikuti aqidah yang benar.

Semoga Allah menuntun kita di atas jalan yang lurus, jalan yang menghantarkan menuju ridho dan sorga Allah.***