Disadur oleh Abu Isma’il Muslim al-Atsari dari kitab Tashiil al-‘Aqidah al-Islaamiyyah, hal. 16-19, penerbit: Darul ‘Ushaimi lin nasyr wa tauzi’, karya Prof. Dr. Abdullah bin Abdul ‘Aziz bin Hammaadah al-Jibrin dan beberapa rujukan yang lain.

Yang dimaksud dengan keistimewaan yaitu sifat yang baik yang dimiliki oleh sesuatu yang tidak dimiliki oleh yang lainnya. 

Keistimewaan-keistimewaan aqidah Islam banyak sekali, kami akan mencukupkan dengan menyebutkan tiga perkara di antaranya, yaitu:

  1. AQIDAH ISLAM ADALAH AQIDAH TENTANG PERKARA GHAIB. 

Perkara ghaib adalah perkara yang tidak terjangkau oleh indra, sehingga tidak bisa dicapai oleh panca indra: pendengaran, penglihatan, sentuhan, penciuman, dan pengecap. 

Sehingga seluruh perkara aqidah yang wajib diyakini adalah perkara ghaib. 

Seperti iman kepada Allah, para malaikatNya, kitab-kitabNya, para RasulNya, hari akhir, qadar, siksa kubur dan nikmat kubur, dan lainnya, berdasarkan keterangan di dalam kitab suci Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah  shalallahu ‘alaihi was sallam. 

Allah memuji orang-orang yang beriman kepada perkara ghaib di permulaan surat Al-Baqarah dengan firmanNya:

الم (1) ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ (2) الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ (3)

Alif laam miin. Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa. (Yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib. (QS. Al-Baqarah/2: 1-3)

  1. AQIDAH ISLAM ADALAH AQIDAH YANG KONPREHENSIF (MENCAKUP; KOMPLIT; LENGKAP)

Kelengkapan aqidah Islam terlihat jelas di dalam tiga perkara sebagai berikut:

Pertama:

Cakupan makna ibadah yang lengkap. Karena ibadah adalah istilah yang meliputi semua perkara yang dicintai oleh Allah dan diridhoiNya, yang berupa perkataan dan perbuatan, yang lahir dan yang batin. 

Sehingga ibadah itu mencakup ibadah-ibadah hati, seperti: mencintai (Allah), takut (kepada siksa Allah), berharap (kepada rahmat Allah), tawakkal (kepada Allah), 

dan mencakup ibadah- ibadah perkataan, seperti dzikir, amar ma’ruf, nahi mungkar, dan membaca Al-Qur’an, 

serta mencakup ibadah-ibadah perbuatan, seperti sholat, puasa, haji, 

juga mencakup ibadah-ibadah harta, seperti zakat dan shadaqah tathawwu’ (sukarela). 

Juga mencakup syai’at semuanya. Karena jika seorang hamba menjauhi semua perkara yang diharamkan dan melaksanakan kewajiban, hal-hal yang dianjurkan, dan perkara-perkara yang mubah, untuk mencari wajah Allah Ta’ala, perbuatannya itu menjadi ibadah yang diberi pahala. 

Kedua:

Bahwa aqidah mencakup hubungan hamba dengan tuhannya dan hubungan manusia dengan sesamanya. 

Ketiga:

Bahwa aqidah mencakup keadaan manusia di dalam kehidupan dunia, kehidupan di alam kubur, dan kehidupan di akhirat. 

Oleh karena itu mengikuti wahyu, Al-Kitab dan As-Sunnah, cukup bagi orang-orang yang beriman. Allah Ta’ala berfirman:

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَىْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ

Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. (QS. An-Nahl/16: 89)

Imam Ibnu Katsir -semoga Alloh merahmatinya- berkata pada tafsir ayat ini: 

“Sesungguhnya Al-Qur’an memuat segala ilmu yang bermanfaat, memuat berita yang telah terjadi dan ilmu yang akan terjadi, dan memuat segala yang halal dan yang haram, dan segala yang dibutuhkan oleh manusia di dalam urusan dunia mereka, agama, kehidupan, dan akhirat. Dan petunjuk terhadap hati, serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”. (Tafsir Ibnu Katsir surat An-Nahl: 98) 

Karena memang petunjuk Al-Qur’an dan As-Sunnah telah lengkap, agama ini telah sempurna, maka merupakan perkara wajar, bahkan wajib untuk mencukupkan diri dengan agama ini, tanpa mengikuti selainnya.

Dan sesungguhnya berpegang kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan jaminan dari kesesatan. Nabi shalallahu ‘alaihi was sallam bersabda:

تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ

Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya: kitab Allah dan Sunnah rasul-Nya. (Hadits Shahih Lighairihi. Riwayat Malik dan lainnya)  

  1. AQIDAH ISLAM ADALAH AQIDAH TAUQIFIYYAH (MENGIKUTI DALIL). 

Aqidah Islam hanya berdasarkan kitab Allah (Al-Qur’an) dan riwayat yang shahih dari Sunnah Rasulullah Muhammad bin ‘Abdullah shalallahu ‘alaihi was sallam. Sehingga aqidah bukan tempat bagi ijtihad (fikiran; akal) karena sumbernya tauqifiyah (mengikuti dalil). 

Hal itu dikarenakan aqidah yang shahih harus dilandasi keyakinan, sehingga sumbernya harus pasti kebenarannya. Dan ini tidak didapati kecuali di dalam kitab Allah (Al-Qur’an) dan riwayat yang shahih dari Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi was sallam.

Berdasarkan ini maka semua sumber-sumber yang kebenaran tidak pasti, seperti qiyas dan akal manusia tidak boleh dijadikan sumber aqidah. Barangsiapa menjadikannya sebagai sumber aqidah maka dia telah menjauhi kebenaran, dan menjadikan aqidah sebagai ruang ijtihad (fikiran) yang terkadang salah dan terkadang benar.

Oleh karena itu Ahli Kalam, seperti Jahimiyyah, Mu’tazilah, dan Asya’irah, menjadi sesat ketika mereka menjadikan akal sebagai salah satu dari sumber-sumber aqidah, mereka mendahulukan akal  daripada nash-nash syari’at, sehingga di kalangan mereka, Al-Qur’an dan As-Sunnah hanya mengikuti akal manusia. Ini merupakan penyimpangan dari jalan yang lurus, meremehkan kitab Allah (Al-Qur’an) dan As-Sunnah,  dan mempermainkan aqidah Islam, karena  mereka menjadikannya tunduk kepada fikiran manusia dan ijtihad akal. Yang benar bahwa akal mendukung nash-nash syari’at, akal yang sharih (sehat) mendukung nash yang shahih (benar), dan tidak menentangnya. 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -semoga Alloh merahmatinya- berkata: 

“Adapun ahlul bid’ah maka mereka adalah ahlu ahwa’ dan syubuhat. 

Mereka mengikuti persangkaan dan apa-apa yang disukai oleh hawa-nafsu. Padahal telah datang petunjuk kepada mereka dari Rabb mereka. 

Setiap kelompok dari ahlul bid’ah telah membuat sendiri kaedah agama untuk dirinya. 

Kemungkinan dengan fikirannya dan perbandingan (logika) nya, yang dia namakan perkara-perkara yang ditetapkan akal. 

Kemungkinan dengan perasaannya dan hawa-nafsunya, yang dia namakan perkara-perkara yang ditetapkan perasaan.

Dan kemungkinan dengan apa yang dia tafsirkan dari Al-Qur’an dan dia robah-robah kalimat-kalimat Al-Qur’an dari tempat-tempatnya. Dan dia mengatakan bahwa dia semata-mata mengikuti Al-Qur’an, sebagaimana kelompok Khawarij. 

Dan kemungkinan dengan apa yang dia anggap sebagai hadits atau sunnah, padahal dusta atau lemah. Sebagaimana disangka oleh kelompok Rafidhah yang berupa nash dan ayat-ayat. 

Dan kebanyakan orang yang telah membuat-buat agama dengan fikirannya, atau perasaannya, dia berargumen dengan Al-Qur’an dengan apa yang dia tafsirkan dengan penafsiran yang tidak benar. 

Dia menjadikan Al-Qur’an sebagai argumen, tidak menjadikan sebagai dasar/pegangan, tetapi dasarnya yang sebenarnya adalah fikirannya. Seperti Jahmiyah dan Mu’tazilah di dalam masalah sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan Allah”. (An-Nubuwat, hal: 129) 

Adapun anggapan kaum Mu’athillah (orang-orang yang meniadakan kandungan nash syari’at) dan kaum Muawillah (orang-orang yang menyelewengkan kandungan nash syari’at) bahwa ada kontradiksi antara akal dengan syari’at, maka itu disebabkan oleh kedangkalan akal manusia. Oleh karena itu sesuatu yang dianggap oleh salah seorang dari mereka sebagai kontradiksi, orang yang lain tidak menganggapnya sebagai kontradiksi.

Berdasarkan hal ini maka sesungguhnya akal itu mendukung nash-nash syari’at di dalam bab aqidah dan bab-bab lainnya. Namun akal bukan sebagai sumber yang berdiri sendiri untuk aqidah. Sehingga akal sendirian tidak boleh memikirkan tentang perkara-perkara ghaib, dan tentang perkara-perkara yang akal tidak mengetahui ilmunya. Karena ilmu manusia tidak akan meliputi tentang Allah dan sifat-sifatNya, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَلَا يُحِيطُونَ بِهِ عِلْمًا

sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya. (QS. Thaha/20: 110) 

Semoga tulisan ringkas ini mengingatkan umat Islam untuk kembali kepada sumber agama mereka yang haq, dan meninggalkan berbagai penyimpangan yang ada. Wallohul-Musta’an.