Disadur oleh Abu Isma’il Muslim al-Atsari dari kitab Tashiil al-‘Aqidah al-Islaamiyyah, hal. 20-25, penerbit: Darul ‘Ushaimi lin nasyr wa tauzi’, karya Prof. Dr. Abdullah bin Abdul ‘Aziz bin Hammaadah al-Jibrin.

Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah aqidah Islam yang benar, berada di pertengahan di antara aqidah-aqidah golongan-golongan sesat yang menisbatkan diri kepada agama Islam. 

Di dalam setiap bab-bab aqidah berada di pertengahan di antara dua golongan, yang pemikiran keduanya saling bertentangan, salah satunya ghuluw (melewati batas), yang lain meremehkannya. Maka aqidah merupakan Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah aqidah yang haq di antara dua kebatilan. Inilah di antara contoh hal tersebut:

  1. DALAM BAB IBADAH

Di dalam bab ibadah, Ahlus Sunnah berada di tengah-tengah antara golongan  Rofidhoh dan Shufiyah dengan golongan Duruz dan Nushoiriyyah. 

Rofidhoh dan Shufiyah

Golongan  Rofidhoh dan Shufiyah menyembah Allah dengan ibadah yang tidak disyari’atkan.

Seperti berbagai dzikir, tawassul, dan membuat hari raya dan perayaan bid’ah, membangun kubur, sholat di dekatnya, thowaf mengelilingi kuburan, dan menyembelih binatang di dekatnya. 

Banyak di antara mereka menyembah orang-orang yang telah dikubur dengan cara menyembelih untuk mereka, berdoa kepada mereka agar menjadi perantara kepada Allah, atau agar mendatangkan perkara yang diinginkan atau menolak perkara yang dikhawatirkan.

Duruz dan Nushoiriyyah

Sedangkan golongan Duruz dan Nushoiriyyah, yang mereka ini menamakan diri dengan ‘Alawiyyin, meninggalkan peribadahan kepada Allah sama sekali, mereka tidak menjalankan sholat, berpuasa, berzakat, berhaji, dan seterusnya.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah

Sedangkan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, maka mereka beribadah kepada Allah berdasarkan apa yang datang di dalam kitab Allah, Al-Qur’an, dan Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi was sallam. 

Mereka tidak meninggalkan ibadah-ibadah yang telah Allah wajibkan atas mereka. 

Mereka juga tidak membuat-buat ibadah dari diri mereka sendiri, sebagai pengamalan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi was sallam:

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ 

Barangsiapa membuat perkara baru di dalam urusan kami (agama) ini, apa-apa yang bukan padanya, maka itu tertolak. (HR. Bukhari no: 2697; Muslim no: 1718)

Di dalam sebuah riwayat imam Muslim:

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada tuntunan kami padanya, maka amalan itu tertolak. (HR. Muslim no: 1718)

Dan sabda beliau shalallahu ‘alaihi was sallam di dalam khutbahnya:

«أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ، 

وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ، 

وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ»

“Amma ba’du, sesungguhnya sebaik-baik pembicaraan adalah kitab Allah, 

sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, seburuk-buruk perkara (dalam agama) adalah perkara-perkara yang baru, 

dan semua perkara baru (dalam agama) adalah kesesatan”. (HR. Muslim, no. 867)

  1. DALAM BAB: NAMA DAN SIFAT ALLOH

Ahlus Sunnah wal Jama’ah bersikap tengah di dalam masalah nama-nama dan sifat-sifat Allah di antara golongan Mu’athilah dengan golongan Mumats-tsilah.

Mu’athilah (golongan yang mengingkari sifat-sifat Allah)

Di antara golongan Mu’athilah, ada yang mengingkari semua nama dan sifat-sifat Allah, seperti golongan Jahmiyyah. 

Dan di antara mereka  ada yang mengingkari sifat-sifat Allah, seperti golongan Mu’tazilah. 

Dan di antara mereka  ada yang mengingkari mayoritas sifat-sifat Allah dan menta’wilnya, seperti golongan Asya’irah. 

Hal itu mereka lakukan bersandarkan akal mereka yang dangkal, dan mendahulukan akal daripada kitab  Allah dan Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi was sallam.

Mereka menghadapkan nash-nash syari’at kepada akal mereka, nash yang diterima akal mereka, merekapun menerimanya, sedangkan nash yang tidak diterima akal mereka, merekapun menolaknya atau menta’wilnya. Dan mereka menganggap hal itu sebagai tanziih (sikap mensucikan Allah). 

Mereka menjadikan nash-nash syari’at sebagai terdakwa, bukan sebagai hakim. 

Mereka menjadikan akal sebagai satu-satunya sumber ilmu mereka, dan menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah harus mengikuti akal. 

Perkara-perkara yang diputuskan oleh akal mereka anggap sebagai prinsip-prinsip global yang pertama, tidak membutuhkan nash-nash syari’at.

Oleh karena itu mereka menetapkan berbagai kewajiban/keharusan dan berbagai larangan/kemustahilan pada diri Allah dengan argument-argumen akal menurut mereka, mereka mengganggapnya sebagai kebenaran, padahal itu kebatilan. 

Mereka menentang nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan akal, sampai salah seorang di antara mereka berkata:

” وَكُلُّ نَصٍّ أَوْهَمَ التَّشْبِيْهَا … أَوِّلْهُ أَوْ فَوِّضْ وَرُمْ تَنْزِيْهَا “

Semua nash yang menyebabkan salah faham adanya tasybih (keserupaan Allah dengan makhluk-pent), takwilkan (beri makna lain), atau tafwidh-kan (serahkan maknanya kepada Allah), dan carilah tanziih (kesucian Allah-pent).

Silahkan lihat perkataan ini di dalam kitab Jauharut Tauhid, karya Ibrahim al-Laqaani al-Asy’ari dengan syarah (penjelasan)nya karya Al-Baijuuri, hal. 91.

Mereka ini menolak nash syari’at dan menta’wilkannya (menyimpangkan) dari maknanya yang hakiki yang difahami kepada makna yang jauh, dengan tanpa dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. 

Mereka mengatakan, “Yang dimaksud bukanlah makna yang ditunjukkan oleh zhahir nash, tetapi yang benar adalah apa yang telah ketahui dari akal kita”. Kemudian mereka berusaha menta’wilkan nash-nash kepada macam-macam ta’wil yang sesuai dengan pendapat mereka. 

Oleh karena itu kebanyakan mereka tidak menetapkan ta’wil, tetapi mereka berkata, “Mungkin yang dimaksudkan demikian, boleh jadi yang dimaksudkan demikian”. 

Dan mereka berselisih di dalam menta’wilkan sebagian sifat-sifat dengan perselisihan yang banyak. 

Sehingga mereka mengatakan, “Sesungguhnya Nabi shalallahu ‘alaihi was sallam tidak menjelaskan apa yang dimaksudkan dari nash, tetapi kita telah mengetahui kebenaran dengan akal kita”. 

Sikap mereka itu merupakan bentuk tuduhan kepada Nabi shalallahu ‘alaihi was sallam, bahwa beliau tidak menjelaskan Al-Qur’an, padahal Allah telah mengutus beliau untuk menjelaskan Al-Qur’an, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَأَنزَلْنَآ إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ 

Dan Kami turunkan Adz-Dzikr (Peringatan; Al-Qur’an) kepadamu, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka. (QS. An-Nahl/16: 44)

Dan mereka memandang bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi was sallam berbicara di dalam masalah sifat-sifat Allah, dengan pembicaaran yang dimaksudkan bukanlah makna yang sesungguhnya yang segera difahami, dan beliau shalallahu ‘alaihi was sallam tidak menjelaskan kepada manusia, dan bahwa Salaf (orang-orang dahulu) dari kalangan sahabat dan orang-orang setelah mereka tidak memahaminya dan tidak menjelasakannya kepada manusia. Sampai datang Al-Asy’ari dan orang-orang setelahnya yang mengikuti jalannya, lalu mereka ini mengetahuinya dan menjelaskannya kepada manusia. 

Ini adalah pendapat yang nyata kebatilannya, dan nyata menuduh Nabi shalallahu ‘alaihi was sallam tidak sempurna di dalam menyampaikan risalah (tugas diutusnya beliau).

Sesungguhnya sebab yang menjerumuskan golongan Muawilah ke dalam ta’wil adalah karena mereka membandingkan sifat-sifat Al-Khaliq Ta’ala dengan sifat-sifat makhluk. Kemudian hal itu mendorong mereka melakukan ta’wil terhadap kebanyakan sifat-sifat Allah Ta’ala yang telah ditetapkan di dalam Al-Kitab dab As-Sunnah. Karena mereka mengangap sifat-sifat Allah itu menyerupai sifat-sifat makhluk. Ini adalah kesalahan yang nyata, karena Allah Ta’ala berfirman:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىْءٌ 

Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia. (QS. Asy-Syuuraa/42: 11)

Karena Allah Ta’ala memiliki sifat-sifat yang sesuai dengan kebesaranNya dan keagunganNya, demikian pula makhluk memiliki sifat-sifat yang sesuai dengan kefakirannya, kehinaannya, dan kelemahannya.

Sehingga sifat-sifat Allah Ta’ala tidak menyamai sifat-sifat makhluk. (Silah lihat Kitab At-Tauhid, 1/57-117, karya Ibnu Khuzaimah; Majmu’ Fatawa, 5/27, karya Ibnu Taimiyah; Syarah Thahawiyah, hal. 57-68, karya Ibnu Abil ‘Izzi al-Hanafi)

Mumats-tsilah (golongan yang menyamakan sifat Allah dengan sifat makhluk)

Sedangkan golongan Mumats-tsilah, mereka membuat persamaan-persamaan bagi Allah. Mereka menganggap sifat-sifat Allah menyamai sifat-sifat makhluk. Sebagian mereka berkata, “Tangan Allah seperti tanganku”, “Pendengaran Allah seperti pendengaranku”. Maha suci Allah dari perkataan mereka.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah

Kemudian Allah memberi petunjuk kepada Ahlus Sunnah wal Jama’ah dengan pendapat yang pertengahan di dalam bab ini. Yaitu pendapat yang ditunjukkan oleh Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi was sallam. 

Mereka beriman kepada semua nama-nama Allah dan semua sifat-sifatNya yang ditetapkan di dalam nash-nash syari’at. 

Sehingga mereka menyifati Allah dengan sifat-sifat yang Allah menyifati diriNya, dan dengan sifat-sifat yang disifatkan oleh manusia yang paling mengenalNya, yaitu RasulNya, Nabi Muhammad bin Abdullah shalallahu ‘alaihi was sallam. Mereka menyifati Allah dengan tanpa ta’thil, ta’wil, tamtsil, dan takyif. 

Mereka mengimani bahwa itu adalah sifat-sifat Allah yang sebenarnya, sifat-sifat yang pantas dengan keagungan Allah Ta’ala, dan tidak menyerupai sifat-sifat makhluk. 

Itu semua sebagai pengamalan firman Allah Ta’ala:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. Asy-Syuuraa/42: 11)

Adapun Ahlus Sunnah wal Jama’ah, mereka bersandar kepada nash-nash syari’at, dan lebih mengedepankan nash-nash syari’at dari pada akal manusia. 

Mereka menjadikan akal manusia sebagai sarana untuk memahami nash-nash syari’at, dan sebagai syarat untuk mengenal segala ilmu, dan kesempurnaan serta kebaikan semua amalan. 

Dengan akal manusia, ilmu dan amal menjadi sempurna, tetapi akal tidak bisa berdiri sendiri dalam hal ini. 

Dengan demikian Ahlus Sunnah wal Jama’ah juga bersikap tengah dalam masalah akal,  mereka tidak mengedepankan akal di atas nash-nash syari’at, sebagaimana dilakukan oleh para Ahli Kalam dari kalangan Mu’tazilah, Asya’irah, dan lainnya. 

Namun  Ahlus Sunnah wal Jama’ah juga tidak menyia-nyiakan akal dan mencelanya, sebagaimana dilakukan oleh banyak orang-orang Shufiyah. 

Mereka ini mencela akal, dan menetapkan perkara-perkara yang didustakan oleh akal yang sehat. Mereka juga mempercayai pada perkara-perkara yang diketahui kedustaannya oleh akal yang sehat.***

  1. DALAM BAB: QODHO’ DAN QODAR

Di dalam bab ini Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang berada di pertengahan golongan Qadariyyah dengan Jabariyyah. 

Qadariyyah

Golongan Qadariyyah menolak qadar (takdir).

Mereka berkata: “Semua perbuatan hamba, ketaatan dan kemaksiatan mereka, tidak di bawah qadha’ dan qadar Allah”. 

Menurut mereka, Allah Ta’ala tidak menciptakan perbuatan hamba dan tidak menghendakinya, tetapi hamba itu merdeka dengan perbuatannya. 

Menurut mereka, hamba adalah pencipta perbuatannya, dia menghendakinya, dan kehendaknya merdeka. 

Sehingga mereka menetapkan adanya pencipta selain Allah Ta’ala. 

Ini adalah kemusyrikan di dalam rububiyah (kekuasaan) Allah, sehingga mereka menyerupai orang-orang Majusi yang mengatakan bahwa alam ini memiliki dua pencipta. 

Sehingga mereka ini digelari ‘Majusinya  umat Islam’. 

Jabariyyah

Sedangkan golongan Jabariyyah, mereka bersikap ghuluw dalam menetapkan qadar. 

Mereka berkata: “Hamba dipaksa melakukan perbuatannya, seperti bulu yang diterbangkan angin di udara, hamba tidak memiliki perbuatan, kemampuan, dan kehendak”.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah

Kemudian Allah memberikan petunjuk, yang berupa perkataan yang benar dan pertengahan, kepada Ahlus Sunnah wal Jama’ah. 

Maka mereka menetapkan, bahwa hamba adalah pelaku yang sebenarnya, bahwa perbuatan mereka dinisbatkan kepada mereka berdasarkan kenyataan, dan bahwa perbuatan hamba terjadi dengan takdir, kehendak, dan ciptaan Allah. 

Allah adalah Pencipta hamba dan Pencipta perbuatannya, sebagaimana firmanNya: 

وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ 

“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” (QS. Ash-Shaaffaat/37: 96)

Sebagaimana hamba memiliki kehendak yang mengikuti kehendak Allah. Sebagaimana firmanNya:

وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam”. (QS. At-Takwiir/81: 29)

Bersamaan dengan hal itu Allah memerintah hamba untuk mentaatiNya dan mentaati para RosulNya, dan melarang dari bermaksiat kepadaNya. 

Dan Allah Ta’ala mencintai orang-orang yang bertaqwa, dan tidak ridha kepada orang-orang fasiq. 

Allah telah menegakkan hujjah kepada hamba dengan mengutus para Rosul dan menurunkan kitab-kitab. Maka barangsiapa taat, maka dia taat dengan kejelasan dan pilihan, sehingga dia berhak mendapatkan balasan yang baik. Dan barangsiapa bermaksiat, maka dia bermaksiat dengan kejelasan dan pilihan, sehingga dia berhak mendapatkan hukuman.

وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِ

“Dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hambaNya”. (QS. Fushshilat/41: 46)

Ahlus Sunnah wal Jama’ah beriman kepada empat martabat qadha dan qadar yang disebutkan di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, yaitu:

  1. Ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu. Allah mengetahui apa yang telah terjadi, apa yang akan terjadi, dan apa yang akan dilakukan makhluk sebelum Allah menciptakan mereka.
  2. Allah menulis semua yang akan terjadi di lauhul mahfuzh sebelum menciptakan langit dan bumi 50 ribu tahun.
  3. Kehendak Allah yang pasti terjadi dan kekuasaanNya yang meliputi segala sesuatu. Apa yang Allah kehendaki pasti terjadi, dan apa yang tidak dia kehendaki tidak akan terjadi. Dan semua yang terjadi di dunia ini telah dikehendaki olah Allah sebelum kejadiannya. 
  4. Bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu. Dia Pencipta semua hamba yang berbuat dan perbuatannya, semua hamba yang bergerak dan gerakkannya, semua hamba yang diam dan keadaan diamnya.
  1. DALAM BAB: JANJI DAN ANCAMAN

Di dalam bab ini Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang berada di pertengahan antara golongan Wa’idiyyah dengan Murji’ah. 

Wa’idiyyah

Golongan Wa’idiyyah memenangkan nash-nash wa’id (ancaman) daripada nash-nash wa’ad (janji).

Di antara mereka adalah golongan Khowarij yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar dari kalangan kaum muslimin, seperti pezina dan peminum khmor, kafir kekal di dalam neraka.

Murji’ah

Sedangkan golongan Murji’ah memenangkan nash-nash roja’ (harapan) daripada nash-nash wa’id (ancaman).

Sehingga mereka berpendapat bahwa iman adalah kepercayaan hati, dan bahwa amal tidak termasuk iman, sehingga kemaksiatan tidak akan membahayakan pelakunya ketika ada keimanan. Sehingga pelaku maksiat, seperti pezina dan peminum khmor, tidak berhak masuk ke dalam neraka. Dan iman pelaku maksiat itu sama dengan iman Abu Bakar dan Umar.

Mirip dengan aqidah ini, perbuatan sebagian pelaku maksiat dari kalangan orang-orang yang menyatakan Islam, banyak berbuat kemaksiatan dan banyak meninggalkan ketaatan, lalu beralasan dengan hadits-hadits wa’ad (janji kebaikan).

Seperti hadits:

مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ خُتِمَ لَهُ بِهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ

“Barangsiapa mengucapkan laa ilaaha illa Allah, lalu dia mati, dia pasti masuk sorga. (HR. Ahmad, 5/391)

Maka jawabannya adalah:

  1. Jika iman benar-benar ada di dalam hati, maka keimanan itu akan mendorong hamba melakukan kewajiban dan meninggalkan kemaksiatan. 

Maka keadaan orang yang berpaling dari agama Allah, tidak mengamalkannya, dan selalu berbuat kemaksiatan, ini sebagai bukti kosongnya hati dari keimanan.

  1. Harus menggabungkan antara nash-nash wa’ad (janji) dengan nash-nash wa’id (ancaman). 

Barangsiapa memegangi nash-nash wa’ad (janji) atau nash-nash roja’ (harapan), dan meninggalkan nash-nash wa’id (ancaman), maka dia tersesat, sebagaimana dilakukan oleh golongan Murji’ah. 

Demikian pula barangsiapa memegangi nash-nash wa’id (ancaman) dan meninggalkan nash-nash roja’ (harapan), dia juga tersesat.

Maka kita katakan kepada pelaku maksiat yang berpegang dengan nash-nash wa’ad (janji), anda harus menggabungkan antara nash-nash roja’ (harapan) dengan nash-nash wa’id (ancaman). 

Anda harus menggabungkan –misalnya- antara hadits yang anda jadikan argument, dengan firman Allah Ta’ala:

وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِناً مُتَعَمِّداً فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِداً فِيهَا 

Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya. (QS. An-Nisa’/4: 93)

Juga dengan hadits:

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ نَمَّامٌ

Orang yang melakukan namimah (adu domba) tidak akan masuk sorga. (HR. Bukhari, no. 6056; Muslim, no. 105)

Ahlus Sunnah wal Jama’ah

Adapun Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa seorang muslim yang melakukan dosa besar, dia tidak keluar dari Islam,  tetapi dia adalah seorang muslim yang keimanannya kurang. 

Selama dia tidak melakukan perkara-perkara yang menjadikan kafir, maka dia adalah seorang yang beriman dengan sebab keimanannya, namun fasiq dengan sebab dosa besarnya. 

Sedangkan di akhirat dia berada di bawah kehendak Allah, jika Allah menghendaki, Dia akan memaafkannya, dan jika Allah menghendaki, Dia akan menyiksanya sehingga membersihkannya dari dosa-dosanya, kemudian memasukkannya ke dalam sorga, dan tidak akan kekal di neraka kecuali orang yang kafir kepada Allah atau menyekutukan Allah.

Iman menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah: perkataan dengan lidah, keyakinan dengan hati, dan amalan dengan anggota badan, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.

  1. DALAM BAB:  SAHABAT NABI

Di dalam bab ini Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang berada di pertengahan antara golongan Syiah dengan golongan Khowarij.

Syiah

Golongan Syiah, di antara mereka adalah Rofidhoh, bersikap melewati batas berkaitan dengan hak ahli bait Nabi, seperti kepada Ali bin Abi Tholib dan anak-anaknya. 

Mereka mengatakan bahwa Ali adalah orang yang maksum, mengetahui perkara ghaib, lebih mulia daripada Abu Bakar dan Umar. 

Di antara orang-orang ekstrim mereka menyatakan bahwa Ali adalah Tuhan!

Golongan Rofidhoh meremehkan hak mayoritas sahabat Nabi, sehingga mereka mencela para sahabat. Mereka beranggapan bahwa para sahabat telah kafir, telah murtad sepeninggal Nabi shalallahu ‘alaihi was sallam. Termasuk Abu Bakar dan Umar menurut sebagian Syi’ah adalah orang kafir. Mereka mengkafirkan semua para sahabat kecuali ahli bait Nabi dan sedikit orang sahabat saja, yang mereka anggap sebagai pembela ahli bait Nabi.

Mereka dengan terang-terangan mencaci para istri Nabi dan orang-orang mulia dari kalangan sahabat Nabi, seperti Abu Bakar dan Umar. 

Namun terkadang mereka menyatakan doa rodhiyallahu ‘anhum dan menampakkan pembelaan kepada sahabat Nabi sebagai bentuk mendekatkan diri dan tipu daya kepada Ahlus Sunnah. 

Karena di antara aqidah mereka adalah aqidah taqiyyah, yaitu mereka menampakkan kepada Ahlus Sunnah yang berbeda dengan isi hati mereka. (Lihat penjelasan Syaikhul Islam di dalam Majmu’ Fatawa, 28/477-479) 

Khowarij

Sedangkan Khowarij bersikap meremehkan hak Ali, sehingga mereka mengkafirkannya, mengkafirkan Mu’awiyah bin Abi Sufyan, bahkan mengkafirkan semua orang yang tidak berada di jalan mereka.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah

Adapun Ahlus Sunnah wal Jama’ah, maka mereka mencintai semua sahabat Nabi, mendoakan ridho Allah bagi mereka.

Mereka meyakini bahwa para sahabat adalah manusia terbaik di kalangan umat ini setelah nabinya, dan bahwa Allah telah memilih para sahabat untuk menemani NabiNya. 

Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak membicarakan perselisihan para sahabat.

Mereka berpendapat bahwa para sahabat adalah para mujtahidin yang mendapatkan pahala, orang yang benar mendapatkan dua pahala, orang yang keliru mendapatkan satu pahala karena ijtihadnya. 

Ahlus Sunnah wal Jama’ah meyakini bahwa orang yang paling mulia dari kalangan sahabat adalah Abu Bakar, lalu Umar, lalu Utsman, lalu Ali rodhiyallohu ‘anhum. 

Ahlus Sunnah mencintai ahli bait Nabi.

Ahli bait Nabi (keluarga Nabi) adalah orang-orang yang haram menerima zakat, yaitu keturunan Hasyim dan keturunan Muthallib, demikian juga istri-istri beliau shalallahu ‘alaihi was sallam. 

Istri-istri nabi termasuk Ahli bait berdasarkan firman Allah Ta’ala: 

يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ 

فَلا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَعْرُوفاً 

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى 

وَأَقِمْنَ الصَّلاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ 

إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيراً 

Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. 

Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.

Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. 

(QS. Al-Ahzaab/33: 32-33)

Imam Al-Qurthubi berkata di dalam tafsirnya:

“Ayat inimenetapkan bahwa istri-istri nabi termasuk Ahli bait Nabi. Karena ayat ini turun tentang mereka dan berbicara kepada mereka, ini ditunjukkan oleh rangkaian pembicaraan”.

Perkataan serupa juga dikatakan oleh imam Ibnu Katsir di dalam tafsirnya, Ibnl Qayyim di dalam Jalaul Afham, hal. 114, dan Asy-Syaukani di dalam tafsirnya.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah meyakini bahwa ahli bait Nabi memiliki dua hak: hak Islam, dan hak sebagai kerabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi was sallam, sehingga Ahlus Sunnah wal Jama’ah mencintai mereka dan mendoaka ridho Allah untuk mereka.***